Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.
Usai sudah sebuah perhelatan politik yang hiruk pikuk dan panjang yang cukup menyita waktu dan banyak halaman media cetak dan elektronik di Indonesia terutamanya di Jakarta. Walaupun final decision nya masih harus menunggu beberapa hari kedepan, namun diperkirakan siapa nantinya yang akan ditentukan menjadi pemimpin ibukota negara ini tampaknya sudah hampir nyata di depan mata.
Bila benar dan ternyata pada saatnya nanti pemimpin baru ditentukan, seperti yang telah diketahui publik secara luas dari hasil hitung cepat yang dilakukan banyak lembaga dan institusi, maka hal ini menurut banyak kalangan menjadi suatu gejala baru. Fenomena baru, demikian banyak media menyebutnya, suatu kata yang akhir-akhir ini sering kita dengar, berhubung dengan urusan pilkada DKI itu.
Namun saya tak hendak membawa pembaca untuk membahas urusan politik yang memusingkan itu, terlebih sebagai orang yang awam terhadap urusan politik. Bagi saya ada banyak hal lain yang lebih memusingkan untuk dipikirkan.
Menyimak homili yang disampaikan pastor Nono Juarno OSC minggu ini sudah cukup membuat pusing kepala. Bukan beratnya materi yang disampaikan, bukan ketidak jelasan uraian beliau, dan bukan pula kebingungan saya akan filosofi Socrates yang beliau sampaikan sebagai pilihan hidup. Namun terlebih adalah bagaimana mengimplementasikan perikop yang menjadi bacaan Injil minggu biasa XXV ini yang diambil dari Injil Sinoptik Mrk 9:30-39. Pada ayat 35, Yesus mengatakan: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
Siapa ingin menjadi yang terdahulu, hendaknya menjadi yang terakhir. Siapa yang ingin menjadi pemimpin, hendaknya menjadi pelayan. Loh? Kalau mau jadi yang terdahulu kan harusnya di depan, kalau jadi pemimpin kan harusnya dilayani. Itulah pertanyaan yang mengemuka, pertanyaan yang mungkin bagi banyak orang menyebutnya sebagai suatu pertanyaan yang naif. Biarin deh dianggap naif, pokoknya saya bingung, kata saya dalam hati, mencoba menjawab praduga pertanyaan yang timbul yang juga berasal dari praduga itu.
Tidak dinyana kejadian pilkada diatas menjadi jawaban bagi pribadi yang bingung ini. Bagaimana seorang yang ‘kampungan’, seorang yang ceking kurus bak kurang makan, yang penampilan phisiknya tidak meyakinkan, dapat memenangkan perhelatan besar itu, menjadi gubernur Jakarta, menjadi pemimpin dari hampir tujuh juta penduduk. Apa istimewanya orang itu?
Kembali apa yang dikatakan Yesus menyeruak ke dalam pikiran ini. Ah, ini dia jawabnya, kata hati yang mulai gembira ini karena merasa mendapatkan jawaban. Sosok itu adalah sosok yang melayani, sosok yang rendah hati, sosok yang merakyat, yang lebih mementingkan masyarakat tidak berpunya lebih dari diri sendiri, sosok yang jauh dari kesan seorang birokrat yang sering bergaya bak aristokrat. Sosok seperti ini yang akan menjadi “yang terdahulu” karena dia mau menjadi “yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
Oooooh, pantasan Yesus jadi “besar” begitu ya, makin jelas jawaban itu merasuk dalam pikiran. Seorang Guru, seorang Pemimpin, seorang Raja yang berkuasa atas langit dan bumi, yang kuasa-Nya tak terbatas, mau melayani manusia-manusia seperti kita, dan malahan pula bersedia membasuh kaki murid-murid-Nya, hingga pada puncaknya dengan rela menyerahkan nyawa-Nya sembari mendoakan “musuh-musuh”-Nya. Itulah ciri-ciri pemimpin sejati, pemimpin yang sesungguhnya. Yesus menyatakan pada kita, bahwa Ia datang untuk melayani, bukan untuk dilayani (Mat 20:28). Bukan main. Karena melayanilah, Dia menjadi besar. Keberpihakannya yang lebih pada kaum miskin, kaum terpinggirkan, para pendosa dan pesakitan mendatangkan keberpihakan masyarakat Yahudi kepada-Nya, dan sebaliknya penolakan pada para imam Farisi, yang bahkan menjadi semakin kecil. Hingga pada akhirnya, seteru yang menyalibkan-Nya pun mengakui: “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (Mar 15:39).
Akhirnya, terpulang kepada kita, bersediakah kita menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan bagi sesama agar kita menjadi terdahulu bagi Kristus?
Salam dalam kasih Kristus dan Bunda-Nya.
Vinsensius Budi – Umat Lingkungan St Mikael
http://www.santo-laurensius.org/2012/09/24/mau-duluan-kok-yang-terakhir/
file: 24 September 2012
No comments:
Post a Comment