Anakmu bukanlah milikmu,
Mereka adalah putera puteri Sang Hidup,
Yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
Tetapi bukan dari engkau,
Mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berilah mereka kasih sayangmu,
Namun jangan sodorkan pemikiranmu,
Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.
Cuplikan bait-bait indah di atas ditulis oleh penyair besar Kahlil Gibran dalam kumpulan pusinya “Sayap Sayap Patah”. Kalimat-kalimat ini selalu mampu membuat saya terpesona akan keindahan bahasa untuk melampaui kearifan nalar.
Ya anak adalah buah hati yang selalu dinantikan bagi banyak pasangan, demikian pula bagi pasangan Bapak Johanes Bhactra Ridwan dan Ibu Maria Adriana Ritawati di tahun 1994. Mereka telah dikaruniai seorang putera dan dua orang puteri dan kini mereka sedang menantikan kelahiran anak ke empat. Kehamilan yang keempat ini tidaklah semulus kehamilan-kehamilan sebelumnya, terjadi beberapa kali pendarahan dan Bu Rita pun sempat terjatuh dua kali ke lantai saat mau duduk, namun dokter mengatakan semua baik-baik saja. Tanggal 25 Agustus 1994 lahirlah Brigita Angeline (Noni) yang mungil. Semua baik baik dan normal saja sebagaimana anak bayi pada umumnya, namun sayang setelah imunisasi yang kedua saat Noni berumur 6 bulan Noni menderita kejang-kejang untuk pertama kalinya. Sejak saat itu Noni menjadi langganan para dokter: dokter anak, dokter syaraf anak dan setahun bisa 2-3 kali masuk ke rumah sakit. Demikianlah Noni terus bertumbuh… Ilmu kedokteran mengatakan Noni menderita Cerebral Palsy.
Sore itu, tanggal 5 Oktober saya telah berjanji dengan Ibunda Noni untuk datang berkunjung. Lalu lintas Jakarta yang sangat padat pada sore itu membuat kunjungan saya menjadi telat sekitar satu jam. Mereka tinggal di Lingkungan St. Dominicus, Wilayah 12 – Gading Serpong.
Saya menyapa Noni yang terbaring di ranjang di kamar. Ia memberikan reaksi sedikit kejang. Demikianlah reaksi Noni apabila dia pertama kali bertemu dengan orang yang baru mengenalnya.
Siapapun sangat mengerti merawat anak yang menderita Cerebral Palsy adalah suatu perjuangan yang berat dan inilah yang dilakoni ibu Rita selama 18 tahun, dan selama 8 tahun terakhir semua beban dipikul sendiri karena sang suami tercinta yang sebelumnya menjadi sumber kekuatan baginya telah pula berpulang.
Dalam suasana santai bincang-bincang kami sore menjelang malam hari tersebut bergulir perlahan. Sekali tempo terdengar suara Noni lemah seolah ikut dalam pembicaraan…
Salus (S): “Bisa ceritakan sedikit kondisi Noni pada awalnya Bu Rita?”
Ibu Rita (R): “Semua nampak baik baik saja dan Noni tumbuh normal sampai usia dia 6 bulan kecuali memang matanya yang sedikit nampak jereng. Pada usia tersebut Noni sudah tengkurap dan sudah nampak belajar duduk. Sayangnya setelah imunisasi yang kedua (tanggal 01 April 1995) Noni menderita kejang untuk pertama kali. Imunisasi saat itu memang dilakukan oleh asisten dokter. Ada yang mengatakan bahwa Noni telah mendapatkan vaksin imunisasi yang telah kadaluarsa. Tapi kami tak bisa mengatakan apapun perihal tersebut. Sejak saat itu Noni menjadi langganan dokter. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit setiap tahun, termasuk pengobatan dengan seorang profesor ahli anak se-Indonesia bahkan dengan pengobatan alternatif.”
S: “Bagaimana kondisi Noni saat ini Bu?”
R: “Perkembangan Noni tak nampak berubah banyak setiap hari masih kejang 3-4 kali, dulu bisa sampai 30 kali.”
S: “Bagaimana pandangan ibu perihal Mujizat?”
R: “Dulu saya seolah menuntut Tuhan untuk memberikan mujizat bagi Noni, kesembuhan fisik yang saya pikirkan, namun kini saya lebih mengerti dan pasrah kepada Tuhan, karena Tuhan luar biasa baik. Dalam perjuangan saya, saya melihat dan merasakan penyertaan Tuhan. Tuhan nampak nyata dalam Noni. Saya sadar bahwa kesembuhan jauh melebihi fisik”.
S: “Bisa ceritakan sedikit bagaimana ibu melihat kasih dan penyertaan Tuhan dalam usaha ibu merawat Noni?”
R: “Dulu iman saya vacuum. Semua perhatian saya tercurah untuk Noni. Kami terlempar dari Jakarta ke daerah Serpong (awalnya di perumahan Crystal) sampai kini di lingkungan ini, saya ternyata tidak berjalan sendiri. Setelah suami saya berpulang, lingkungan selalu menerima kami dengan baik. Selalu kami mendapatkan pertolongan yang tak sedikit. Sampai saat ini Gereja dan Lingkungan rutin membantu pengobatan Noni. Tak terhitung hamba-hamba Tuhan yang silih berganti mengunjungi kami. Bukankah ini kebaikan Allah semata. Inilah penyertaan Allah yang sungguh saya rasakan. Sampai saat ini saya masih mampu merawat Noni dengan segala keterbatasan namun saya tidak membiarkan Noni dirawat ditempat lain. Ada banyak keluarga yang mempunyai anak yang serupa Noni dan dibiarkan tumbuh di panti namun berkat kasih Allah, Noni tetap bersama kami.”
S: “Ada pengalaman Ibu yang tak terlupakan?”
R: “Iya ada, iman saya telah membawa saya untuk puasa setiap hari dari jam 10 malam sampai jam 12 siang, tidak makan dan minum dan suatu hari kami tak mempunyai beras, hanya tersisa roti saat itu. Saya bilang dengan puteri saya yang kedua, ingatlah Allah tak akan meninggalkan kita, dan sungguh tak lama setelah itu ada seorang hamba Allah yang datang membawa bantuan kepada kami sebesar Rp.500.000,-. Kami memang tak mengharapkan pertolongan setiap saat, namun dalam kesulitan kami, kami selalu mendapatkan pertolongan. Perlu juga diketahui, bahwa saya selalu rindu bagaimana putera-puteri saya dipulihkan, khususnya putra sulung saya dan Puji Tuhan, saat ini dia secara perlahan sudah mau ke gereja, doa tak akan sia sia. Saya berpikir dalam masa akhir hidup saya, saya sungguh mau memuji dan memuliakan Allah. Dari tak mengerti membaca firman, sampai kini saya perlahan-lahan tercerahkan dengan Firman Allah dengan membaca Kitab Suci setiap hari, ini tentu suatu pengalaman yang luar biasa bagi saya dan keluarga saya.”
S: “Pernah bawa Noni ke gereja Bu?”
R: “Pernah. Waktu itu saya bilang dengan Noni, Non nanti kalau dagangan keripik singkong mami laku, yuk kita ke gereja. Benar keripik singkong saya laku 200 bungkus. Saya menyewa taxi membawa Noni ke gereja dengan kursi roda. Kami duduk di aula bawah paling belakang. Saya juga tahu diri untuk memilih duduk di belakang. Saat itu di tengah misa Noni batuk, dan umat di sebelah kami langsung menegur, “Kalau batuk ingat tutup dong.” Aduh saya sedih sekali, ya siapa sih yang mau batuk? Saya bisa saja menggendong Noni ke ruang kaca di lantai atas gereja. Tapi di sana kan banyak anak-anak, nanti Noni dibilangin eh kakinya bengkok. Saya sih tidak malu, tapi Noni bisa bereaksi dengan kejang-kejang. Karena Noni mendengar dan mengerti apa yang diperbincangkan. Sejak saat itu saya tidak membawa Noni ke gereja lagi. Saya tahu Tuhan mengerti kesulitan saya dan Noni. Tuhan tahu Noni juga rindu mendengarkan firman-Nya.”
S: “Ada momen terindah ibu bersama Noni setiap hari?”
R: “Ada, setiap malam saya selalu berdoa malam bersama Noni dan puteri saya yang kedua. Saya selalu menggendong Noni dalam pelukan saya. Setelah doa malam saya selalu membacakan firman Tuhan untuk Noni. Noni selalu mengerti apa yang kami baca. Itu adalah momen yang paling indah setiap hari bagi saya. Saya selalu membawa Noni mendoakan sahabat-sahabatnya yang juga menderita seperti Noni dan Noni selalu nampak mengerti.”
S: “Apa hambatan terbesar Ibu saat ini dalam merawat Noni?”
R: “Terus terang sebenarnya dari segi ekonomi saya sudah tidak sanggup lagi. Sejak papi Noni berpulang, sebenarnya saya sudah hampir kehilangan kemampuan untuk merawat Noni. Tapi amanat Almarhum untuk selalu merawat Noni selalu saya ingat baik. Kini saya berani bilang, Tuhan perbuatlah yang terbaik buat Noni. Saya masih manusia biasa, ada kedagingan saat saya sudah capai, ada kalanya saya bisa juga mecubit Noni seperti tadi pagi, tiba tiba saat memandikan Noni saya merasa sangat capek dan Noni rewel, sayapun tanpa sengaja mencubit Noni, aduh penyesalan datang luar biasa. Karenanya saya selalu memohon kekuatan Tuhan dan kini mampu lebih memasrahkan diri. Tuhan tahu apa yang terbaik bagi Noni.”
S: “Ada yang ingin Ibu sampaikan kepada gereja dan Lingkungan?”
R: “Terima kasih saya yang tak terhingga. Sampai kini Gereja dan Lingkungan rutin membantu pengobatan Noni, yang tentunya tak sanggup saya lakukan seorang diri, apalagi saya tak mempunyai pekerjaan yang tetap dengan penghasilan yang tetap.”
S: “Ada yang ingin Ibu sampaikan bagi pembaca majalah Salus?”
R: “Iya, mungkin ini bukan hanya bagi pembaca majalah Salus atau umat Gereja St. Laurensius tapi bagi kita semua ingatlah bahwa jangan pernah menilai seseorang dari fisik saja. Tak ada seorangpun mau terlahir tidak sempurna, namun ukuran kesempurnaan bukanlah fisik tapi adalah hati yang penuh kasih.”
Saat pamitan saya menjabat erat tangan Noni dan dia bereaksi dengan memalingkan wajahnya menatap saya. Itulah reaksi emosional Noni, reaksi kasih Noni. Tepatlah dikatakan sang Penyair tadi, “Mereka lahir dari engkau tapi bukan dari engkau… Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri…” Ukuran sempurna bagi kita adalah kesempurnaan itu sendiri. (Imelda)
http://www.santo-laurensius.org/2013/04/12/merajut-asa-untuk-noni/
No comments:
Post a Comment