Selasa, 15 Oktober 2013, saya bersama seorang umat mengadakan perjalanan ke Klaces, Nusakambangan. Berhubung kami menggunakan kendaraan bermotor, kami menyebutnya dengan touring ke Klaces. Klaces merupakan suatu tempat di mana di sana ada sebuah Goa yang diyakini untuk berziarah. Goa ini menarik banyak peziarah, sebab di sana ada batu yang menyerupai patung Bunda Maria. Sehingga, banyak orang menyebutnya Goa Maria Klaces. Klaces berada di pulau terpencil, tepatnya Nusakambangan, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap.
Perjalanan saya dimulai pada jam 6.45 setelah misa pagi. Kami berdua berjalan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Saya menggunakan kendaraan Megapro milik paroki, sedangkan umat, Felix, menggunakan motor cross. Kami menuju Kalipucang-Majingklak untuk menyebrang ke Nusakambangan. Aktivitas jalan raya tampak lowong, sebab pagi itu sedang diadakan Sholat Ied Hari Raya Idul Adha. Oleh karena itu, kami hanya menempuh 1 jam kurang untuk sampai Majingklak. Sampai Majingklak, kami bertemu dengan seorang operator perahu yang nanti akan membawa kami sampai pada Nusakambangan.
Biasanya, para peziarah datang ke klaces menggunakan perahu dengan kapasitas 15 orang. Namun, kami menyewa perahu untuk 2 orang dan 2 kendaraan motor. Setelah semua motor dirasa aman, kami bertiga berlayar menyusuri muara Pantai Selatan. Perahu berjalan dengan kecepatan + 30 km/jam. Penyebrangan kami untuk sampai Kampung Laut memakan waktu 30 menit. Selama di perjalanan, saya mengamati aktivitas nelayan yang ada di muara. Ada banyak perahu melakukan aktivitas di pagi hari. Saya pun melihat rumah-rumah penduduk di Kampung Laut. Saya melihat begitu sederhana rumah-rumah di pinggir muara. Mereka hanya membuat rumah dengan kerangka kayu dan ditutup dengan asbes sebagai dinding rumah. Bagi mereka yang tidak mampu, mereka hanya menggunakan kain atau spanduk iklan-iklan sebagai dinding dan beratap daun. Kehidupan di Kampung Laut masih relative kekurangan.
Perahu menepi di sebuah dermaga kecil. Sebab tidak jauh dermaga di mana saya menepi, ada dermaga besar milik Kecamatan Kampung Laut. Kami pun menaiki motor-motor ke darat.
Touring pun dimulai
Felix, seorang umat Sidareja, menawari saya untuk menggunakan motor cross selama di Kampung Laut. Ia tahu bahwa saya menyukai motor, sehingga saya dipinjami motor cross untuk perjalanan ke Klaces. Motor cross memang berbeda dengan motor pada umumnya. Untuk medan bebatuan dan berlubang, motor cross sungguh tepat digunakan untuk mengadakan perjalanan. Saya pun memakai motor cross untuk menyusuri Kampung Laut, sedangkan Felix menggunakan motor paroki bersama operator perahu. Akhirnya, kami bertiga menuju Klaces. Saya menikmati dinamika penduduk Kampung Laut. Tatapan tajam penduduk sangat tampak ketika ada orang asing. Apalagi, saya menggunakan motor cross 2 tak yang bersuara nyaring.
Perjalanan menuju Klaces dari dermaga dengan kendaraan bermotor membutuhkan waktu 45 menit. Kami bertiga belum pernah ada yang ke Goa. Kami pun bertanya ke penduduk letak Goa. Kami melihat ada beberapa penunjuk arah yang bertulisan “MARIA”. Kami pun mengerti maksud dari penunjuk arah itu meski tidak begitu jelas. Situasi jalan sangat rusak. Kami harus melewati jalan bebatuan, tanah, semak belukar, dan tanah liat. Sejauh memandang, saya hanya melihat semak belukar, hutan, laut.
Akhirnya, saya sampai pada kontemplasi Rm. Carolus OMI membantu penduduk Kampung Laut. Belum selesai saya membayangkan karya Rm. Carolus, kami tersasar di tengah hutan. Kami tidak melihat tanda penunjuk arah ketika di hadapkan 3 persimpangan. Kami mencoba melihat arah matahari. Namun sayang, kami pun tidak menemukan arah yang jelas untuk sampai pada Goa Klaces. Kami mengandalkan feeling yang kuat untuk memutuskan arah menuju Goa Klaces. Lagi-lagi, kami harus melewati semak belukar, jalan bebatuan, dan tanah liat. Kami pun melihat ada banyak ayam hutan berwarna hitam berterbangan di depan kami.
Goa Maria Klaces
Perjalanan menuju goa sebenarnya tidaklah sulit. Namun, saya menjadi ragu ketika tampilan muka goa tidak meyakinkan kalau goa ini yang disebut Goa Maria Klaces. Oleh karena ragu, kami meninggalkan tempat itu dan mencari lagi tanda-tanda keberadaan Goa Maria Klaces. Semakin jauh meninggalkan tempat tadi, kami semakin tidak menemukan apa-apa selain semak belukar dan hutan. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke tempat tadi. Di jalan, kami berjumpa dengan penduduk dan bertanya letak goa maria. Penduduk itu memberi tahu tempat yang tadi sudah kami kunjungi. Ternyata, tempat yang tadi kami kunjungi adalah Goa Maria Klaces. Sepintas, saya merasa tidak percaya kalau mulut goa itu adalah goa Maria. Sebab, situasi di dalam goa sangat gelap. Saya merasa goa itu kecil sekali. Namun kami beruntung karena ada rombongan dari Paroki Minomartani yang akan ziarah. Sehingga, ada petugas membawa genset penerangan. Kami pun memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke goa.
Setelah genset dinyalakan, kami masuk goa. Kami sangat terkejut/kaget ketika melihat isi dalam goa itu. Mulut goa Klaces memang kecil, tetapi setelah masuk ke dalam ada ruangan yang sangat luas dan tinggi. Saya menduga bisa menampung kurang lebih ratusan orang. stalagtit alami sangat nampak menghiasi dinding goa.
Di dalam goa, saya melihat sebuah batu menjulang tinggi hingga menyentuh atap goa di atas tanah yang agak tinggi. Sepintas, batu itu seperti bentuk patung Bunda Maria. Namun ketika didekati hanyalah batu biasa yang ramping nan meninggi. Saya menduga batu ini yang sering disebut patung Bunda Maria. Tidak hanya batu yang menyerupai patung Bunda Maria, di sisi agak dalam ada patung yang disebut patung 12 rasul. Batu ini berbentuk bulat namun di setiap sisi lingkaran muncul batu menonjol. Sehingga ketika dilihat dari jauh seperti kepala orang sedang berkumpul dan duduk melingkar. Oleh karena bentuknya seperti kepala orang sedang duduk berkumpul, batu itu disebut batu 12 rasul. Kekaguman saya tidak berhenti pada 2 batu tadi. Saya masih terkagum dengan sungai yang membelah 2 bagian. Sungai ini terhubung dengan sungai goa yang tidak jauh dari goa Klaces. Untuk menghubungi daratan yang 1 dengan yang di seberang ada sebuah jembatan sederhana. saya pun melihat sebuah kolam. Banyak orang mempercayai kolam ini merupakan sumber mata air yang tidak pernah habis meski diambil airnya.
Saya menyayangkan dengan kondisi Goa Maria Klaces yang tidak terawat. Sehingga, orang tidak tahu bahwa di Klaces ada Goa Maria yang bagus. Tampilan muka Goa terlihat semrawut dan banyak sampah. Apalagi ilalang semak belukar tumbuh tinggi menutupi goa.
Sekitar sejam saya berada di dalam goa. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi. Saya mengajak Felix untuk jalan-jalan di seputar Nusakambangan. Saya mengajak Felix dan mas Juwono ke Lapas Nusakambangan. Sebab, saya pernah diminta untuk misa di Lapas, tetapi pada waktu itu saya tidak jadi. Saya ingin tahu situasi dan keadaan Lapas di Nusakambangan.
Kampung Laut
Lagi-lagi kami hanya mengandalkan feeling untuk ke Lapas. Kami menyusuri hutan dan semak belukar untuk sampai Lapas atas saran penduduk waktu di goa. Namun kami tersesat. Kami bingung karena tidak tahu harus mengarah ke mana ketika dihadapkan dengan beberapa persimpangan. Akhirnya, kami memutuskan kembali ke arah goa dan melewati perkampungan Kampung Laut. Meski melewati perkampungan Kampung Laut, kami masih belum menemukan jalan untuk sampai Lapas Nusakambangan. Saya melihat situasi dan dinamika penduduk Kampung Laut yang begitu sederhana. Ada banyak anak-anak kecil bermain tanpa alas kaki di tengah terik matahari yang menyengit. Saya pun melihat kesibukan para orangtua menjemur pakaian, padi serta perahu yang baru saja ditambal. Kehidupan di Kampung Laut sangat sederhana. Rumah-rumah yang mereka tempati pun terbuat dari “gedhek”, asbes, dan daun kelapa.
Ketika menyusuri Kampung Laut, saya mengingat kembali karya pastoral Rm. Carolus OMI. Tiba-tiba, bayangan 20 tahun yang lalu muncul dalam benak. Saya membayangkan situasi 20 tahun yang lalu. Betapa sulitnya kehidupan di Kampung Laut. Ketika di Goa, seorang penduduk bercerita tentang jasa Rm. Carolus OMI. Mereka bersyukur ada Rm. Carolus OMI yang membantu pembangunan jalan. Saya memang melihat jalan-jalan di Kampung Laut pada umumnya sudah berbatu. Saya membayangkan jalan-jalan di Kampung Laut sebelum diaspal dengan batu-batu blok seperti apa. Penduduk tadi bercerita betapa sulitnya penduduk Kampung Laut di kala hujan. Semua jalan menjadi licin. Mereka berjuang untuk tetap bertahan hidup dengan situasi seperti itu. Kampung Laut bisa dikatakan sebagai daerah misi di tanah Jawa.
Maka peran Rm. Carolus OMI dan para Rama OMI pada waktu itu memberikan air dan angin segar untuk penduduk Kampung Laut. Meski pun penduduk mengatakan masih kurang, namun bagi saya situasi sekarang sudah lebih baik jika dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu di mana Kampung Laut masih begitu sulit untuk dihuni.
Lapas Nusakambangan
Kami pun bertanya kepada penduduk arah menuju Lapas Nusakambangan. Perjalanan kami dari Klaces sampai Lapas Nusakambangan memakan waktu kurang lebih 1,5 jam tanpa henti. Bagi saya, waktu 1,5 jam merupakan waktu yang lama untuk sampai jalan menuju Lapas Nusakambangan. Selama waktu itu, saya hanya melihat rumah di pinggir sungai, perahu, dan sungai. Sungguh pemandangan yang tidak asing. Sebab, saya sering melihat pemandangan itu di Stasi Sekarmayang dan Gendiwungcagak. Jalan berbatu pun menjadi pemandangan selama perjalanan menuju Lapas Nusakambangan.
Kami pun menemukan jalan raya “HOTMIK”. Saya merasa senang karena setelah sekian lama berada di perkampungan Kampung Laut kami menemukan jalan raya. Namun sekali lagi, kami bingung harus mengarah kemana. Kami pun memutuskan untuk belok kiri (tidak tahu arah mata angin hehehehe). Tidak lama kami menyusuri jalan raya, saya menemui Lapas Kembang Kuning (kalau tidak salah). Saya senang bisa menemukan Lapas di Nusakambangan. Sebab ketika saya pernah diminta untuk misa di Lapas Nusakambangan, saya tidak punya bayangan situasi Nusakambangan seperti apa. Bayangan saya, Nusakambangan merupakan pulau yang menakutkan, karena di sana hanya ada Lapas dan Lapas.
Lapas Kembang Kuning
Kami memutuskan untuk beristirahat di warung yang tidak jauh dari Lapas Kembang Kuning. Seorang ibu yang berjualan menyapa kami. Kami pun memesan beberapa minuman sambil bertanya-tanya tentang Lapas yang ada di Nusakambangan. Ternyata di Nusakambangan, ada banyak Lapas. Lapas Kembang Kuning merupakan Lapas kelas IIA sejauh saya membaca spanduk di pintu Lapas. Ketika kami sedang minum, ada seorang lelaki paruh baya datang ke warung untuk mengantar makanan. Setelah lelaki itu meninggalkan warung, ibu itu mengatakan bahwa lelaki itu adalah seorang narapidana.
Di Nusakambangan, para narapidana berkeliaran bebas di luar Lapas. Namun tidak semua Napi boleh berkeliaran di luar Lapas. Hanya Napi yang akan bebas beberapa bulan ke depan diberi kesempatan untuk penyesuaian hidup di luar Lapas. Saya bertanya kepada ibu tadi, mengapa mereka diberi kesempatan untuk keluar dari Lapas? Apakah ada kemungkinan kalau mereka akan kabur dari Lapas? Ibu penjual itu menceritakan kronologi para napi yang diberikan kesempatan untuk keluar Lapas.
Mereka tetap dalam pengawasan petugas, namun tidak seketat mereka yang berada di dalam Lapas. Kalau mereka berniat kabur dari Lapas, maka mereka sendiri yang akan rugi sendiri. Sebab jika ketangkap, mereka harus masuk Lapas kembali dengan waktu yang lama. Mereka juga memakai pakaian Lapas, sehingga banyak penduduk tahu jika mereka berniat kabur. Menurut penuturan ibu itu, di Lapas Pasir Putih akan banyak dijumpai para Napi yang berjualan. Dari cerita ibu tadi, saya menjadi penasaran seperti apa Lapas Pasir Putih yang kata orang Lapas itu merupakan Lapas kelas berat. Lapas Pasir Putih mendapat penjagaan Super Maksima. Setelah kami beristirahat sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan ke Lapas Pasir Putih. Saya masih mengendarai motor cross milik Felix hehehehehhe…
Lapas Permisan dan Lapas Pasir Putih
Perjalanan menuju Pasir Putih dilalui dengan lancar. Tidak ada 1 pun kendaraan lewat kecuali kendaraan petugas pada waktu-waktu tertentu dan penduduk. Namun pada umumnya, jalan raya menuju Pasir Putih sangat lowong. Sehingga kami melaju dengan cepat. 1 km sebelum masuk pintu Lapas Permisan, terdapat tulisan “Selamat Datang di Lapas Permisan”. Ternyata di ujung Pulau Nusakambangan terdapat 2 Lapas, yaitu Lapas Permisan dan Lapas Pasir Putih. Sepintas bangunan Lapas sangat rapih dan sepi. Saya teringat dengan seminari. Sebab bangunan Lapas sangat rapih, bersih, dan sepi. Kami memasuki kompleks Lapas Permisan. Saya melihat para petugas yang sedang menikmati liburan dengan bermain bilyard. Kami pun terus menyusuri jalan.
Tidak jauh dari Lapas Permisan terdapat bangunan tinggi dan luas. Bangunan itu adalah Lapas Pasir Putih. Lapas itu dilapisi 3 pagar kawat beraliran listrik dan kawat berduri. Saya menebak-nebak apakah ini Lapas Pasir Putih yang mendapat penjagaan Super Maksima. Ternyata benar, bangunan itu adalah Lapas Pasir Putih. Kami berhenti sejenak untuk melihat gedung yang sangat kuat dan gagah.
Pantai Pasir Putih
Perjalanan kami dilanjutkan menuju pantai Pasir Putih. Udara pantai pun begitu terasa. Gapura bertuliskan “KOMANDO” menyambut para pengunjung yang ingin menikmati udara pantai. Kami dihampiri seorang lelaki paruh baya. Lelaki itu menawari batu aki cincin. Ternyata, ia adalah napi yang sedang menjalani masa penyesuaian di luar Lapas Permisan. Ia menawari kami batu aki cincin dengan harga Rp. 30.000. Batu aki tersebut merupakan hasil karya para napi di Lapas. Kami pun bertanya-tanya tentang kehidupan di Lapas. Ia bercerita telah kena hukuman penjara 11 tahun, namun mendapat remisi. Ia telah berada di Lapas selama 6 tahun. Akhir tahun ini, ia akan bebas.
Pemandangan pantai Pasir Putih sungguh indah. Ombak besar menghantam batu di tengah pantai. Di tengah pantai terdapat lambang KOPASUS, yaitu sebilah pisau/bayonet yang ditusukkan di sebuah batu. Setelah puas menikmati pantai dan melihat Lapas di Nusakambangan, kami pun kembali ke Klaces untuk kembali ke Sidareja
http://www.santo-laurensius.org/2013/10/18/ziarah-ke-goa-maria-klaces-nusakambangan/
No comments:
Post a Comment