Ketertarikan Awal “Si Anak Mama”
Saya dilahirkan sebagai anak ke-dua dari tiga bersaudara. Sebagai anak laki-laki tunggal yang diapit oleh dua orang saudari, saya dibesarkan dengan penuh perhatian dan cinta dalam keluarga. Dari semua anggota keluarga, saya memiliki kedekatan dengan mama. Sampai-sampai ada yang menjuluki saya sebagai “si anak mama”. Meskipun sebagai “anak mama”, saya bukanlah anak yang alim dan pendiam, justru saya merasa sebagai anak yang lincah dan penuh energi (untuk tidak mengatakan sebagai anak nakal). Saya tidak pernah bisa diam, selalu ada saja yang saya lakukan, hingga saya pun dikatakan sebagai “cacing kepanasan”. Hanya ada dua hal yang bisa membuat saya duduk diam, yaitu buku bacaan dan permainan Lego. Itulah sebabnya, setiap kali ada orang yang bertanya tentang cita-cita, “si anak mama” selalu menjawab dengan lantang bahwa ia ingin menjadi arsitek atau insiyur pembangunan, tidak pernah terbersit sedikit pun niat untuk menjadi imam. Namun pada saat menginjak kelas 4 SD, saya bertemu dengan seorang imam muda yang baru diutus ke paroki saya. Walau awalnya terkesan galak, namun imam itu ternyata bisa bergaul dan dekat dengan anak-anak. Kala itu “si anak mama pun” sempat tertarik terhadap figur imam tersebut. Romo Wiryowardoyo kerap mengundang kami setiap minggunya untuk bermain di pastoran. Banyak dari anak-anak yang senang datang ke pastoran untuk mengikuti sekolah Minggu, karena selain belajar mereka juga dapat bermain dengan beberapa hewan piaraan, ada burung, monyet, anjing, dll. Setelah menerima komuni pertama, saya diajak untuk masuk menjadi anggota Putra Altar, namun dengan pelbagai macam alasan saya selalu mengelak untuk mengisi formulir pendaftaran misdinar di paroki. Alhasil setelah komuni pertama saya jarang ikut kegiatan di Gereja. Setelah lulus SD, saya melanjutkan pendidikan SLTP di daerah Jembatan Lima, Jakarta Barat. Saya tinggal bersama kung-kung dan poh-poh (sebutan untuk kakek dan nenek). Tanpa pengawasan penuh dari orang tua dan hidup di daerah kota yang penuh tawaran yang menyenangkan membuat saya melupakan ketertarikan awal terhadap figur imam. Sebagai remaja yang sedang mencari identitas, saya mulai dididik oleh papa untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab, khususnya terhadap diri sendiri. Pernah suatu hari saya ketahuan mengantongi sebuah rokok di saku baju sekolah. Saat itu papa tidak marah, dia hanya memanggil saya dan berkata, “Kamu tahu bahwa rokok itu tidak baik buat kesehatan, yah sudah kamu seharusnya tahu apa yang kamu lakukan.” Entah mengapa sejak saat itu saya berhenti merokok. Bekal pengalaman tersebut membuat saya belajar untuk tidak asal ikut-ikutan arus pergaulan dengan teman-teman. Belajar menjadi orang yang memiliki sikap terhadap pelbagai tawaran, terlebih kehidupan kota yang pada saat itu sangat mengoda. Selepas dari SMP, saya kembali tinggal bersama kedua orang tua dan saudari saya. Selama SMU selain belajar di sekolah, saya pun mulai aktif dalam pelbagai kegiatan Gereja, baik di lingkungan maupun di paroki, sampai-sampai didaulat menjadi ketua mudika lingkungan saat itu. Selulus dari SMU saya meneruskan pendidikan di Sydney, Australia. Saya sengaja memilih hidup sendiri, tidak tinggal bersama saudara, karena ingin mengembangkan bekal kemandirian yang sudah ditanamkan sejak kecil. Alhasil saya menyewa kamar dan mulai bekerja sampingan (di McDonald) untuk mencukupi kebutuhan hidup harian saat itu. Sekembalinya dari masa belajar di UNSW, “si anak mama” meneruskan gairah studinya di Binus dengan mengambil jurusan Teknik Informatika. Saat itu orang tua saya sudah pindah ke daerah Ciledug, sehingga saya tinggal di rumah sendiri. Untuk menambah pemasukan, saya bersama beberapa teman di kampus mulai mendirikan software house dan bekerja secara part time. Ketertarikan yang Dirahasiakan Setelah lulus dari Binus, saya semakin dilibatkan dengan banyak kegiatan Gereja, baik di paroki sebagai anggota dewan kepemudaan maupun di keuskupan sebagai sekretaris dalam kelompok Sekami. Perkenalan dengan banyak imam dan biarawan/wati kembali menumbuhkan ketertarikan terhadap figur seorang imam. Saya mulai bertanya-tanya dan mencari informasi tentang hidup dan karya seorang imam. Berkat bimbingan romo di paroki pada waktu itu, saya mulai diarahkan untuk berani mengolah dan memutuskan ketertarikan saya terhadap jalan panggilan sebagai imam. Setelah melalui pertimbangan dan pengamatan yang cukup, saya memutuskan untuk melamar sebagai calon imam di Keuskupan Agung Jakarta. Pada saat pengumumam penerimaan disampaikan, perasaan saya saat itu bercampur aduk, antara senang dan bingung. Senang karena diperkenankan masuk menjadi frater, bingung karena saya belum memberitahu orang tua. Di antara keluarga, hanya adik saja yang saya beritahu tentang hal ini. Saya masih merahasiakan berita penerimaan ini dari keluarga. Mendekati hari-H, saat saya harus masuk ke seminari (3 Agustus 2003), saya baru mengatakannya kepada orang tua. Papa membebaskan saya untuk memilih jalan hidup yang saya pilih, namun reaksi mama berbeda, beliau tidak setuju dengan pilihan saya. Bahkan ketidak-setujuan itu, diungkapkan dengan tidak pernah hadirnya mama dalam pelbagai acara yang diadakan oleh seminari. Setiap kali ada kesempatan untuk pulang ke rumah, saya dengan berbagai cara berusaha untuk meluluhkan hati mama. Dengan pikiran dasar, orang tua mana yang tidak akan bahagia bila melihat anaknya bahagia, maka mulailah saya bercerita tentang hal-hal yang membahagiakan di seminari hingga pelbagai rencana saya bila menjadi imam kelak. Namun semuanya seakan-akan menjadi sia-sia, karena setiap itu pula mama selalu berusaha mengiming-imingi saya dengan pelbagai hal, mulai dari tawaran untuk mengambil kuliah di luar, diberi modal untuk membuka usaha warnet, hingga diperkenalkan dengan anak perempuan dari sepupunya yang sudah beranjak dewasa. Ketertarikan yang Dimurnikan Proses tarik menarik antara saya dengan mama, membuat jalan panggilan yang saya lalui terasa berat. Saya merasa terperangkap dalam situasi yang serba salah, di satu sisi saya ingin membuktikan bahwa ini adalah panggilan hidup saya, namun di sisi lain, saya pun tidak ingin melepaskan bakti saya kepada orang tua. Akibat ketegangan yang tak terolah secara baik, saya mulai memandang imamat sebagai usaha pribadi, lepas dari rahmat Allah. Dengan usaha manusiawi yang rapuh, saya berjuang menjalani lika-liku panggilan ini, namun semakin saya berjuang, semakin pula saya terperosok dalam lubang kesalahan. Hidup panggilan saya perlahan mulai kacau dan tidak lagi mencerminkan sebagai orang yang memperjuangkan panggilan. Hubungan saya dengan komunitas menjadi renggang, saya ribut dengan teman angkatan dan tergoda untuk menjalin relasi dengan lawan jenis. Beruntung, dalam segala keterpurukan tersebut, saya tetap mengindahkan Ekaristi dan bimbingan rohani. Dua hal inilah yang menyadarkan saya akan kesalahan yang telah saya lakukan. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh 15:16a). Perkataan Yesus inilah yang terus mengema dalam diri saya sehingga saya berani untuk kembali memasrahkan diri dalam jalan panggilan ini. Saya mulai menata kembali hidup panggilan saya, mencoba untuk berelasi secara sehat, baik dengan komunitas maupun dengan teman perempuan. Memandang imamat pertama-tama sebagai anugerah Allah dan bukan melulu usaha manusia belaka. Saya sungguh bersyukur dalam segala kesalahan yang telah saya lakukan, saya masih diperkenankan untuk melanjutkan formasi pendidikan jenjang Tahun Orientasi Pastoral. Masa TOP sungguh saya rasakan sebagai ajang pemurnian dari panggilan saya. Pada masa ini, selain saya dihadapkan secara langsung pada realitas kehidupan umat, baik di seminari maupun di paroki, saya juga diajak untuk mengolah segala kekurangan saya secara terbuka dan jujur. Terlebih pada kali ke-dua masa TOP, yang saya jalani di Paroki Cililitan, Jakarta. Pada masa ini, mama telah mulai dirawat secara rutin di rumah sakit. Dan atas izin yang diberikan oleh romo paroki, saya diperbolehkan untuk menjaga mama tiga hari dalam seminggu. Dalam kebersamaan dengan mama itulah saya mulai terbuka dan mau mendengarkan segala curahan isi hatinya. Kami pun kerap bertukar cerita tentang segala hal, antara lain terkait dengan panggilan sebagai imam. Kebersamaan kami ini sungguh menjadi waktu yang membebaskan kami berdua, saya menyebutnya sebagai moment of truth. Dalam keterbukaan itulah, mama menjadi bersuka bila ada umat di Cililitan yang datang menjenguk dan bercerita tentang kehidupan saya sebagai seorang frater di sana. Terlihat mama sangat bangga dengan kisah tentang anaknya yang sudah diterima dan hidup bahagia di antara umat paroki. Hal ini jelas nampak melalui cerita yang dikisahkan kembali oleh mama, baik kepada saya maupun keluarga, setiap kali ada umat Cililitan yang datang. Ketertarikan yang Membebaskan Kanker pankreas yang diderita mama ternyata sudah menyebar dan sulit untuk disembuhkan. Masih teringat dengan jelas, kala itu Senin malam, 5 Januari 2009, saya dapat giliran menjaga mama. Sambil memandang kaca rumah sakit, mama bercerita tentang indahnya kembang api di malam tahun baru. Lalu mama memalingkan wajahnya kepada saya dan berkata dengan suara lirih, “Kim (panggilan kecil saya), kalau kami benar mau jadi romo ya sudah, nggak apa-apa. Yang penting kamu bisa bahagia. Kamu mau jadi romo atau tidak, kamu tetap anak kesayangan mama.” Saat itu saya tidak terlalu mengindahkan perkataan mama karena saya sibuk membereskan tempat tidur untuk istirahat, saya hanya mengiyakan saja dan mengajak mama untuk segera beristirahat. Setelah mama merebahkan diri, dia sempat menceritakan kembali apa yang dikatakan oleh beberapa umat dari Cililitan tentang saya, saat mereka datang mengunjunginya. Walau terdengar pelan, mama kembali berkata, “Kim, jadi romo yang benar yah, kamu anak mama yang baik.” Lalu mama memejamkan mata dan tidur. Saat mendengar hal itu saya hanya termangu-mangu, lalu menyusul tidur. Saya baru tersadar akan perkataan mama saat siang harinya. Pada keesokan hari, saya bertemu dengan dokter yang lebih senior di rumah sakit tersebut untuk meminta second opinion tentang mama. Dokter itu mengatakan bahwa mama sudah tidak mungkin tertolong. Pernyataan dokter ini membuat saya menjadi lemas dan tidak punya tenaga untuk berdebat dengannya. Saya menerima semua yang dianjurkan dokter ini. Beliau menyarankan agar kami semua sekeluarga menuruti kemauan mama, bila ia ingin pulang jangan ditolak. Dan sebisa mungkin mama diberitahu tentang kondisinya, siapa tahu mama mempunyai pesan terakhir yang ingin disampaikan kepada kami semua. Saat dokter mengungkapkan saran tersebut, saya baru tersadar akan arti perkataan mama di malam hari tadi. Sebuah pesan yang telah membebaskan saya. Setelah berdiskusi dengan keluarga dan sesuai dengan keinginan mama, kami sekeluarga sepakat membawa pulang mama. Hari Rabu, 7 Januari 2009, saya dan adik menjemput mama dari rumah sakit menuju rumah. Dua hari kemudian, Jumat, 9 Januari 2009, saya masih sempat menjenguk mama di rumah. Setelah makan siang, saya pamit kepada mama untuk kembali ke paroki. Saat saya baru memarkir mobil di garasi paroki, saya mendapat telepon dari papa yang menyampaikan pesan bahwa mama sudah kembali ke pangkuan Bapa si surga. Segera, setelah mendapat izin romo paroki, saya kembali menuju rumah. Selama menyetir, saya kembali teringat perkataan dan pesan terakhir mama. Saya sungguh merasakan kasih mama melalui pesan yang membebaskan tersebut. Pesan itulah yang membuat saya semakin mencintai dan berani memperjuangkan jalan panggilan ini. Sejak saat itu saya sungguh menghayati panggilan Tuhan ini sebagai anugerah. Ketertarikan yang Membuahkan “Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh 15:16b). Selama menghidupi jalan panggilan ini, saya sungguh merasakan kasih dan penyertaan Tuhan. Diri saya semakin terolah baik dalam aspek kepribadian, rohani, intelektual, pastoral, dan komunitas. Saya menyakini bahwa inilah buah rahmat yang diberikan Allah. Semoga melalui rahmat tahbisan imam yang saya terima, saya semakin dimampukan untuk belajar menjadi pengikut Kristus yang setia, menjadi buah Ekaristi, buah yang diambil, diberkati, dipecah-pecah dan dibagikan bagi sesama. Semoga Allah yang telah memulai karya baik dalam diri saya, berkenan menyelesaikannya pula. Amin. Catatan tentang Penulis RD Yakin Ciptamulya adalah imam diosesan KAJ yang ditahbiskan pada tanggal 22 Agustus 2013. Ayah beliau, Bp. Damianus Hindra Kumala, kini tinggal di Sutera Feronia Park, Alam Sutera.http://www.santo-laurensius.org/2013/08/22/refleksi-imamat-yakin/
No comments:
Post a Comment